Rabu, 09 Oktober 2013

Personal Branding

Writed By: Sweta Kartika
Original Title: Personal Branding

Suatu hari saya terlibat dalam sebuah perbincangan seru antar mahasiswa. Mereka adalah generasi muda yang baru saja meloloskan diri dari tembok ‘pembatas kreatifitas dan kebebasan’ berlabel Sekolah Menengah Atas. Tajuk dalam perbincangan kami sangat sederhana, yaitu “Being Different”. Menjadi beda dengan yang lain.

Sebagian besar orang pasti sempat mengalami krisis kepribadian. Hal ini bisa saja terjadi jikalau mereka menemukan satu ‘tempat persinggahan’ yang salah. Krisis kepribadian muncul ketika di dalam diri seseorang merasa tidak cocok dengan kehidupan yang dijalaninya selama ini. Lalu terjadilah krisis. Sebagian besar ‘pasien’ krisis kepribadian ini kemudian mengejawantahkannya lewat tindakan fisik. Mereka melakukan semacam ‘rebellion act’ menentang aksi kemapanan. Hal ini biasanya dilakukan dalam skala minor. Penderita krisis kepribadian lantas mengubah penampilan mereka yang selama ini melekat dengan kepribadian lama, lalu menggantinya ‘new look’ yang terkadang sangat berbeda dengan penampilannya yang lama. Tidak hanya tampilan visual dan fisik, tapi gaya bicara serta tata pandang berpikir pun di sesuaikan. Sebuah penyakit ‘klasik’ anak-anak muda yang merekrut terlalu banyak lalulintas informasi tanpa punya ‘saringan’ yang kuat. Aksi mengubah kepribadian dan penampilan fisik ini disebut ‘Personal Branding’.

Sayangnya, tidak semua orang sadar bahwasannya personal branding itu muncul dari kebiasaan lama yang dipadu dengan originalitas kepribadiannya selama ini. Dalam bahasa jawa, ada istilah ‘waton’. Waton ini setidaknya memiliki pengertian ‘core’ atau kebiasaan asli bawaan lahir. Core atau inti kepribadian dari setiap orang pasti berbeda-beda. Orang yang biasa bercanda, sampai kapanpun akan terasa sulit untuk menjadi ‘terkesan’ serius. Dan waton bercanda ini akan sulit dihilangkan atau diseberangkan ke waton yang lain. Kalaupun bisa, tentu akan memakan proses yang lama. Demikian pula seseorang yang introvert yang pendiam dan tertutup, pastinya akan lebih piawai menyembunyikan rahasia hidupnya dibandingkan dengan orang yang supel dan cablak. Waton atau core kepribadian inilah yang kemudian akan membawa pengaruh terhadap tampilan visualnya.

Penderita krisis kepribadian sebenarnya adalah korban dari aksi ‘ikut-ikutan’. Yang konyol dari gerakan ini adalah, “Mereka mencoba menjadi beda dari yang lain dengan cara ikut-ikutan kelompok tertentu.” Lantas muncul pertanyaan, ‘Bagaimana akan menjadi beda kalau caranya saja “MENIRU”?’. Kekeliruan ini biasanya tidak mencerminkan ‘waton’ atau kepribadian asli bawaan masing-masing. Akhirnya, gerakan ‘mencari kepribadian’ ini hanya bertahan seumur jagung. Dan dalam hitungan hari, boleh jadi penderita krisis kepribadian ini akan mengganti kepribadian dan tampilan visualnya lebih dari tiga kali.

Saya sempat tertawa geli sewaktu bertemu seseorang yang mencoba membranding dirinya dengan cara ‘selalu memakai sandal jepit’. Mungkin upaya ini ia lakukan untuk dekat dengan kepribadian pengusaha sukses Bob Sadino. Celakanya, upaya personal brandingnya berbenturan dengan peraturan perkuliahan yang mengharuskan dirinya memakai sepatu setiapkali memasuki area kampus. Di lain cerita, saya berbicara dengan seorang rekan di daerah urban yang selalu gagal dalam tes wawancara kerja karena ia selalu menolak sewaktu disuruh ‘merapihkan’ jenggotnya. Merapihkan disini artinya mencukur habis. Memang dalam beberapa perusahaan dan pabrik, pemilik jenggot diwajibkan memangkas habis jenggotnya demi tujuan imaging dan kenyamanan bekerja. Tapi, berbekal keyakinan Islami-nya bahwasannya jenggot adalah Sunnah Rasul, teman saya menolak melakukannya. Apakah rejekinya berhenti sampai disitu? Tidak. Teman saya tetap bisa bekerja di tempat lain.

Ada dua hal yang saya garis bawahi. Yang pertama adalah mahasiswa berbranding sandal japit, dan kedua adalah pekerja muslim berjenggot. Aksi yang dilakukan sang mahasiswa ini kemungkinan tidak memiliki dasar yang kuat. Apa yang ia lakukan hanyalah bentuk minor dari sebuah gerakan anti kemapanan yang menolak sistem dan hukum yang berlaku. Dengan jalur yang kurang tepat ini, upaya personal brandingnya akan terus berbenturan dengan wilayah yang lebih ‘mapan’. Lain halnya dengan rekan saya, pemuda muslim taat yang memelihara jenggotnya. Apakah ia akan lantas menolak memangkas habis jenggotnya di setiap kesempatan? Tidak. Pernah sesekali ia hampir mencukur habis jenggotnya demi keperluan operasi. Ia mencoba fleksible dengan tata norma personal branding yang ia bangun sendiri. Demikian pula dalam cerminan tingkah lakunya. Tidak melulu dengan mengedepankan tampilan visual, rekan saya memang sudah terbiasa memiliki kepribadian yang alim dan bersahaja. Bukan tipe orang yang neko-neko dan ‘keras’ seperti yang ‘diwartakan’ oleh tampilan fisiknya. Ia pun sadar, bahwa dirinya hidup dalam sebuah tatanan pluralisme dengan kemajemukan cara berpikir, yang tidak serta merta akan menerima cara pandang golongan, seperti ‘hak mempertahankan jenggot dalam segala situasi’ ini. Ia tetap fleksible.

Kejadian ini kembali membuat saya terrenung. Seperti apa personal brand yang kita bangun? Apakah kita terlalu sibuk memperbaiki dan mengubah tampilan visual kita tanpa memperbaiki personality kasat mata yang ada di dalam? Jangan-jangan kita sudah lari terlalu jauh dari kepribadian bawaan asli, dan kita telah terlalu sadis mengorbankan semua itu demi tampilan visual yang mungkin dalam dua periode gerhana sudah akan kita ganti lagi.

Saatnya merenungi kepribadian asli kita :-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar