Writed By: Sweta Kartika
Original Title: Personal Branding
Suatu hari saya terlibat dalam sebuah perbincangan seru antar
mahasiswa. Mereka adalah generasi muda yang baru saja meloloskan diri
dari tembok ‘pembatas kreatifitas dan kebebasan’ berlabel Sekolah
Menengah Atas. Tajuk dalam perbincangan kami sangat sederhana, yaitu
“Being Different”. Menjadi beda dengan yang lain.
Sebagian besar orang pasti sempat mengalami krisis kepribadian. Hal
ini bisa saja terjadi jikalau mereka menemukan satu ‘tempat
persinggahan’ yang salah. Krisis kepribadian muncul ketika di dalam diri
seseorang merasa tidak cocok dengan kehidupan yang dijalaninya selama
ini. Lalu terjadilah krisis. Sebagian besar ‘pasien’ krisis
kepribadian ini kemudian mengejawantahkannya lewat tindakan fisik.
Mereka melakukan semacam ‘rebellion act’ menentang aksi kemapanan. Hal
ini biasanya dilakukan dalam skala minor. Penderita krisis kepribadian
lantas mengubah penampilan mereka yang selama ini melekat dengan
kepribadian lama, lalu menggantinya ‘new look’ yang terkadang sangat
berbeda dengan penampilannya yang lama. Tidak hanya tampilan visual dan
fisik, tapi gaya bicara serta tata pandang berpikir pun di sesuaikan.
Sebuah penyakit ‘klasik’ anak-anak muda yang merekrut terlalu banyak
lalulintas informasi tanpa punya ‘saringan’ yang kuat. Aksi mengubah
kepribadian dan penampilan fisik ini disebut ‘Personal Branding’.
Sayangnya, tidak semua orang sadar bahwasannya personal branding itu
muncul dari kebiasaan lama yang dipadu dengan originalitas
kepribadiannya selama ini. Dalam bahasa jawa, ada istilah ‘waton’. Waton ini setidaknya memiliki pengertian ‘core’ atau kebiasaan asli bawaan lahir. Core
atau inti kepribadian dari setiap orang pasti berbeda-beda. Orang yang
biasa bercanda, sampai kapanpun akan terasa sulit untuk menjadi
‘terkesan’ serius. Dan waton bercanda ini akan sulit dihilangkan atau
diseberangkan ke waton yang lain. Kalaupun bisa, tentu akan memakan
proses yang lama. Demikian pula seseorang yang introvert yang pendiam dan tertutup, pastinya akan lebih piawai menyembunyikan rahasia hidupnya dibandingkan dengan orang yang supel dan cablak. Waton atau core kepribadian inilah yang kemudian akan membawa pengaruh terhadap tampilan visualnya.
Penderita krisis kepribadian sebenarnya adalah korban dari aksi ‘ikut-ikutan’. Yang konyol dari gerakan ini adalah, “Mereka mencoba menjadi beda dari yang lain dengan cara ikut-ikutan kelompok tertentu.” Lantas muncul pertanyaan, ‘Bagaimana akan menjadi beda kalau caranya saja “MENIRU”?’.
Kekeliruan ini biasanya tidak mencerminkan ‘waton’ atau kepribadian
asli bawaan masing-masing. Akhirnya, gerakan ‘mencari kepribadian’ ini
hanya bertahan seumur jagung. Dan dalam hitungan hari, boleh jadi
penderita krisis kepribadian ini akan mengganti kepribadian dan tampilan
visualnya lebih dari tiga kali.
Saya sempat tertawa geli sewaktu bertemu seseorang yang mencoba
membranding dirinya dengan cara ‘selalu memakai sandal jepit’. Mungkin
upaya ini ia lakukan untuk dekat dengan kepribadian pengusaha sukses Bob
Sadino. Celakanya, upaya personal brandingnya berbenturan dengan
peraturan perkuliahan yang mengharuskan dirinya memakai sepatu
setiapkali memasuki area kampus. Di lain cerita, saya berbicara dengan
seorang rekan di daerah urban yang selalu gagal dalam tes wawancara
kerja karena ia selalu menolak sewaktu disuruh ‘merapihkan’ jenggotnya.
Merapihkan disini artinya mencukur habis. Memang dalam beberapa
perusahaan dan pabrik, pemilik jenggot diwajibkan memangkas habis
jenggotnya demi tujuan imaging dan kenyamanan bekerja. Tapi,
berbekal keyakinan Islami-nya bahwasannya jenggot adalah Sunnah Rasul,
teman saya menolak melakukannya. Apakah rejekinya berhenti sampai
disitu? Tidak. Teman saya tetap bisa bekerja di tempat lain.
Ada dua hal yang saya garis bawahi. Yang pertama adalah mahasiswa
berbranding sandal japit, dan kedua adalah pekerja muslim berjenggot.
Aksi yang dilakukan sang mahasiswa ini kemungkinan tidak memiliki dasar
yang kuat. Apa yang ia lakukan hanyalah bentuk minor dari sebuah gerakan
anti kemapanan yang menolak sistem dan hukum yang berlaku. Dengan jalur
yang kurang tepat ini, upaya personal brandingnya akan terus
berbenturan dengan wilayah yang lebih ‘mapan’. Lain halnya dengan rekan
saya, pemuda muslim taat yang memelihara jenggotnya. Apakah ia akan
lantas menolak memangkas habis jenggotnya di setiap kesempatan? Tidak.
Pernah sesekali ia hampir mencukur habis jenggotnya demi keperluan
operasi. Ia mencoba fleksible dengan tata norma personal branding yang
ia bangun sendiri. Demikian pula dalam cerminan tingkah lakunya. Tidak
melulu dengan mengedepankan tampilan visual, rekan saya memang sudah
terbiasa memiliki kepribadian yang alim dan bersahaja. Bukan tipe orang
yang neko-neko dan ‘keras’ seperti yang ‘diwartakan’ oleh tampilan
fisiknya. Ia pun sadar, bahwa dirinya hidup dalam sebuah tatanan
pluralisme dengan kemajemukan cara berpikir, yang tidak serta merta akan
menerima cara pandang golongan, seperti ‘hak mempertahankan jenggot
dalam segala situasi’ ini. Ia tetap fleksible.
Kejadian ini kembali membuat saya terrenung. Seperti apa personal brand
yang kita bangun? Apakah kita terlalu sibuk memperbaiki dan mengubah
tampilan visual kita tanpa memperbaiki personality kasat mata yang ada
di dalam? Jangan-jangan kita sudah lari terlalu jauh dari kepribadian
bawaan asli, dan kita telah terlalu sadis mengorbankan semua itu demi
tampilan visual yang mungkin dalam dua periode gerhana sudah akan kita
ganti lagi.
Saatnya merenungi kepribadian asli kita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar